Marah adalah sebuah fenomena yang wajar kita jumpai dalam kehidupan. Akan tetapi, sudah sepantasnya kita sebagai hamba Allah Ta’ala untuk berusaha menaati-Nya dan berhati-hati agar tidak terjatuh ke dalam larangan-Nya. Permasalahan yang akan kita bahas sekarang adalah apakah setiap kemarahan merupakan kesalahan?, apakah marah itu bisa dibenarkan?.
Para Ulama menyimpulkan dari dalil-dalil yang ada, bahwa kemarahan itu ada dua macam:
1. Kemarahan yang terpuji
Kemarahan yang terpuji adalah kemarahan yang diletakkan pada waktu dan tempat yang seharusnya, yaitu kemarahan yang murni karena Allah dan berlandaskan kebenaran. Maka apabila kita mendapati penghinaan terhadap Allah dan Rasul-Nya, pelecehan terhadap al-haq atau ketika menyaksikan kezhaliman, maksiat dan dosa, kemudian timbul kemarahan dalam hati kita, maka yang demikian itu adalah kemarahan yang terpuji dan berada pada tempat yang seharusnya.
Begitulah yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dijelaskan di dalam hadis yang diriwayatkan oleh istri beliau Ummul mukminin ‘Aisyah radliallahu ‘anha, dia berkata: “Rasulullah tidak pernah marah, kecuali ketika ada yang melanggar aturan-aturan Allah Ta’ala.” (HR. Bukhari dan Muslim)
2. Kemarahan yang tercela
Kemarahan yang paling banyak kita jumpai di antara kita adalah kemarahan yang kedua ini, yaitu kemarahan duniawi karena menuruti emosi yang memuncak berdasarkan nafsu yang meledak-ledak. Kemarahan yang demikian inilah yang selalu diperingatkan oleh Allah dan Rasul-Nya agar kita senantiasa menghindarinya.
Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah seraya berkata: “Berilah aku nasihat.” Rasulullah menjawab “Janganlah engkau marah!” Iapun mengulanginya berkali-kali dan Rasulullah tetap menjawab dengan jawaban yang sama, (yaitu) :”Janganlah engkau marah!” (HR.Bukhari)
KENAPA HARUS MENAHAN AMARAH?Mengetahui keutamaan yang akan kita peroleh apabila kita mampu menahan diri dari amarah adalah salah satu obat mujarab yang dapat mencegah kita dari terjerumus ke dalam kemarahan tercela, di antara keutamaan itu adalah yang terkandung dalam firman Allah Ta’ala yang artinya, “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imran: 134)
Keutamaan yang lain adalah yang terdapat dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah orang yang perkasa itu ketika dia mampu melampiaskan kemarahannya. Akan tetapi, orang yang perkasa adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika dia marah.” (HR.Bukhari dan Muslim)
Hadis lain yang menyebutkan keutamaan menahan amarah adalah riwayat Imam Ibnu Majah, di mana
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah seorang hamba meneguk sebuah tegukan yang lebih afdhal di sisi Allah melebihi tegukan amarah yang dia tahan demi mengharapkan wajah Allah tabaraka wa ta’ala.” (HR. Ibnu Majah)
TRIK ISLAMI DALAM MENGATASI EMOSI
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa ada kemarahan yang Allah benci, maka Allah dan Rasul-Nya mengajarkan terapi dalam menangani penyakit ini, di antaranya adalah:
- Berlindung kepada Allah dari gangguan Setan
- Merubah posisi tubuh
Sahabat Abu Dzar Al-Ghifary Radhiallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika ada seseorang di antara kalian yang marah dalam keadaan berdiri maka hendaklah dia duduk, sampai akhirnya hilang darinya kemarahan tersebut. Jika tidak berhasil, maka hendaklah dia berbaring.” (HR. Abu Dawud)
- Berwudhu
Trik yang ketiga yang diajarkan oleh Rasulullah adalah dengan mengambil air wudhu untuk memadamkan api amarah kita. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya kemarahan itu datangnya dari setan, dan sesungguhnya Setan itu diciptakan dari api, dan api itu dipadamkan dengan air. Oleh karena itu, jika ada di antara kalian yang marah, hendaklah dia berwudu.” (HR. Abu Dawud)
- Diam
Ibnu ‘Abbas Radliallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ajarkanlah dan permudahlah, dan janganlah engkau persulit. Ketika engkau marah, diamlah! Jika engkau marah, diamlah! Jika engkau marah, diamlah!.” (HR. Ahmad, dan Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata bahwa hadits ini hasan lighoirihi)
BEBERAPA KISAH MULIA DALAM MENAHAN AMARAH
Berikut ini adalah beberapa nukilan dari kisah Salafush-Sholih, bagaimana hebatnya mereka dalam memadamkan amarahnya:
Kisah Ali bin Al-Husain dan budak perempuannya
Dikisahkan bahwa ada seorang budak wanita yang sedang menuangkan air untuk Ali bin al-Husain rahimahullah, kemudian tanpa disengaja jatuhlah kendi yang dibawanya dan mengenai wajah Ali hingga membuatnya terluka. Maka Ali marah dan mengangkat mukanya kepada budak tersebut. Setelah itu, sang budak berkata: “Wahai tuan, sesungguhnya Allah Ta’ala telah berfirman, yang artinya: ‘Dan orang-orang yang menahan amarahnya.’” Maka Ali berkata pada budaknya: “Aku telah menahan amarahku.” Lalu budak itu melanjutkan membaca firman Allah yang artinya: “Dan mema’afkan (kesalahan) orang.“ Ali pun berkata: “Akupun telah mema’afkanmu.” Lalu budak tersebut melanjutkan lagi firman-Nya yang artinya: “Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” Maka Ali pun berkata: “Pergilah engkau! Sungguh engkau talah merdeka karena aku mengharapkan wajah Allah Ta’ala. “
Kisah Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh Rahimahullahu ta’ala
Pada suatu hari, datang seseorang menemui beliau dan berkata: “Wahai Imam, sesungguhnya si fulan telah mencela kehormatan anda.” Beliau pun berkata: “Demi Allah, aku benar-benar jengkel kepada Iblis la’natullah ‘alaihi yang meyuruhnya melakukan hal itu.” Kemudian beliau berdo’a kepada Allah: “Ya Allah, jika memang dia benar, maka ampunilah aku, namun jika ternyata dia berdusta maka ampunilah dia.”
Itulah beberapa contoh yang dapat kita petik dari sebagian Salafush-Sholih yang senantiasa menjadikan Rasulullah sebagai panutannya, dan masih banyak lagi kisah lain yang tidak mungkin kami cantumkan di sini.
Semoga kita bisa memetik faidah dari tulisan ini, serta mampu untuk mengamalkannya, amin.(disarikan dari beberapa kitab syarh arbain nawawiyah hadits ke-12)
[Burhanuddin]