Kunci Surga

Barang siapa yang akhir perkataannya(sebelum meninggal) adalah (syahadat) Laa ilaaha illallaah’ maka ia akan masuk syurga” Demikian kabar gembira yang Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sampaikan kepada umatnya. Hingga muncul slogan yang mendarah daging di hati masyarakat kita kaum muslimin: “Miftahul jannah laa ilaaha illallaah” Bahwa kunci seorang muslim untuk masuk surga adalah ucapan syahadat laa ilaaha illallaah.


Lantas bagaimanakah kita mendapatkan keutamaan dan kemuliaan dengan kalimat syahadat? Apakah dengan membentuk kelompok-kelompok dzikir laa ilaaha illallaah? Atau dengan memperbanyak dzikir ratusan, bahkan ribuan kali setiap hari? Perlukah kita mempelajari maknanya? Adakah konsekuensi yang harus kita tunaikan dari syahadat ini?
Marilah kita simak perkataan para pendahulu umat ini yang shalih.
Slogan tadi juga masyhur dikalangan para pendahulu umat ini yang shalih. Seorang tabi’in Wahb bin Munabbih rahimahullah pernah ditanya oleh muridnya: “Bukankah kalimat syahadat laa ilaaha illalaah adalah kunci surga?” Beliau jawab: “Engkau benar. Akan tetapi, bukankah setiap kunci itu pasti punya gigi-gigi? Maka jika engkau membawa kunci yang bergigi, niscaya pintunya akan terbuka untukmu. Namun, jika engkau membawa kunci yang ompong tanpa gigi, maka pintunya tak akan terbuka.”
Inilah keyakinan yang dipegang teguh oleh para pendahulu umat ini yang shalih yang semestinya kita teladani. Maksud Beliau, seseorang yang mengucapkan kalimat syahadat ia akan masuk surga, dengan catatan ia memenuhi syarat-syaratnya, melakukan konsekuensinya, dan menjauhi hal-hal yang menghalanginya untuk masuk surga; bukan sekedar mengucapkan syahadat sebanyak-banyaknya tanpa tahu maknanya atau tanpa mengamalkan konsekuensinya, atau bahkan melakukan perbuatan yang membatalkan syahadatnya tanpa ia sadari wal’iyadzu billaah, ini sangat berbahaya karena batal syahadat berarti batallah islamnya.
Delapan syarat laa ilaaha illallaah
Dari penelitian para ulama terhadap dalil-dalil, baik al-Quran maupun hadits, disimpulkan bahwa syarat kalimat syahadat ada delapan.
Syarat pertama: ilmu.
Yaitu mengetahui makna kalimat laa ilaaha illallaah secara benar. Allah berfirman yang artinya: “Kecuali orang-orang yang bersaksi dengan Al-haq sedangkan mereka mengetahui.” (QS. Az-Zukhruf: 86)
Syarat kedua: yakin.
Yang menghapuskan keraguan. Allah berfirman yang artinya: “Hanyalah orang mukmin itu adalah orang  yang beriman kepada Allah  dan Rasul-Nya kemudian dia tidak ragu.” (QS. Al-Hujurat: 15)
Syarat ketiga: ikhlas.
Allah berfirman yang artinya: “Mereka hanyalah diperintahkan untuk beribadah kepada Allah dengan memurnikan peribadahan kepada-Nya.” (QS. Al-Bayyinah: 5)
Syarat keempat: jujur.
Tidak berdusta. Allah berfirman yang artinya: “Apakah manusia mengira akan dibiarkan begitu saja setelah mengatakan ‘kami orang yang beriman’ dan tidak diuji (kebenaran perkataan mereka). Sungguh Kami (Allah) telah menguji orang-orang sebelum mereka, dan sungguh Allah mengetahui orang yang jujur dan mengetahui orang yang berdusta.”(QS. Al-Ankabut: 2-3)
Syarat kelima: cinta.
Yaitu mencintai kalimat syahadat, kandungan makna, dan konsekuensinya, serta mencintai orang yang mengucapkannya. Allah berfirman yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, barangsiapa diantara kalian yang murtad niscaya Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka mencintai Allah.” (Al-Maidah: 54)
Syarat keenam: tunduk patuh.
Mengamalkan konsekuensi kalimat syahadat. Allah berfirman yang artinya: “Sungguh demi Robbmu, tidaklah mereka beriman sampai mereka menjadikanmu (Muhammad) sebagai hakim dalam perselisihan yang terjadi diantara mereka, kemudian mereka tidak merasa berat hati menerima ketetapan hukummu dan mereka tunduk patuh sepenuhnya.” (An-Nisa: 65)
Syarat ketujuh: menerima.
Tidak menolak seperti penolakan orang musyrik Quraisy terhadap seruan Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk mengikrarkan laa ilaaha illallaah. Allah berfirman yang artinya: “Dahulu jika dikatakan kepada mereka: (ucapkanlah) ‘Laa ilaaha illallaah’ mereka menyombongkan diri, bahkan mengatakan: ‘Akankah kita tinggalkan berhala sesembahan kita hanya karena ucapan penyair gila ini?’” (QS. Ash-Shaffat: 35-36)
Syarat kedelapan: kufur terhadap thaghut.
Yaitu mengingkari sesembahan selain Allah dan segala bentuk ibadah kepada selain Allah. Allah berfirman yang artinya: “Maka barangsiapa yang kufur terhadap thaghut dan beriman kepada Allah berarti dia berpegang teguh dengan ikatan tali(agama) yang kokoh.” (QS. Al-Baqarah: 256)
TENTANG MAKNA LAA ILAAHA ILLALLAAH
Makna yang benar
Tidak ada ilah (sembahan) yang berhak disembah kecuali Allah.
Artinya hanya Allah lah yang diibadahi secara hak (benar), adapun selain Allah, apabila diibadahi, maka ia diibadahi secara batil. Allah berfirman yang artinya: “Yang demikiaan itu karena hanya Allah lah Al-haq (Yang Maha Benar) dan sembahan selain Allah yang diibadahi adalah batil.” (QS. Luqman: 30)
Antara Ar-rabb dan Al-ilaah
Ar-rabb maknanya Yang Maha Esa dalam perbuatan-Nya. Maksudnya, hanya Allah lah satu-satunya yang mampu menciptakan, mengatur alam semesta, memberi rizki, menghidupkan, mematikan, dan sebagainya. Ini disebut dengan sifat rububiyah Allah.
Sedangkan Al-ilaah maknanya Maha Esa dalam hak untuk diibadahi. Maksudnya hanya Allah lah satu-satunya yang berhak untuk diibadahi, tidak memberikan ibadah apapun bentuknya dalam rangka mendekatkan diri kepada selain Allah, siapapun dia, baik wali, kiyai, syaikh yang masih hidup, maupun yang sudah mati; baik ibadah lahir, seperti shalat, zakat, haji, thawaf, i’tikaf, dzikir, do’a, ataupun ibadah batin, seperti minta pertolongan, istighatsah, tawakal, takut, harap dan sebagainya.
Ini disebut dengan sifat uluhiyah Allah.
Cukupkah mengimani rububiyah saja?
Keimanan seorang mukmin kepada rububiyah Allah mengantarkannya untuk mengimani uluhiyah Allah.
Gambarannya:
-Seseorang yang mengimani bahwa Allah Maha Memberi rizki, maka hal itu mendorongnya untuk meminta rizki dan kekayaan hanya dari Allah, tidak memintanya dari siapapun selain Allah.
-Seseorang yang meyakini bahwa Allah lah satu-satunya Pemilik Syafa’at secara mutlak, adapun makhluk seperti nabi,orang-orang shalih yang kelak bisa memberi syafa’at adalah semata-mata anugerah dari Allah, maka keyakinan ini mengantarkannya untuk meminta syafa’at hanya dari Allah Pemilik Syafa’at yang hakiki, tidak meminta kepada siapapun selain-Nya. Dia akan berdo’a: ‘Ya Allah izinkan Nabi-Mu memberi syafa’at-Mu kepadaku kelak di hari kiamat’ atau ‘Ya Allah jangan halangi syafa’at Nabi-Mu bagiku kelak di akhirat’ dan do’a semisalnya.
Adapun orang yang mengimani rububiyah Allah saja, tanpa mengimani uluhiyah-Nya; dia mengimani Allah Maha Pencipta, Maha Pengatur, Maha Memberi rizki, akan tetapi dia berbuat syirik, beribadah kepada selain Allah, meminta rizki dari wali-wali, memohon syafa’at dari selain Allah, maka orang tersebut belum dikatakan muslim.
Apa buktinya?
Perhatikanlah keadan orang musyrik Quraisy dahulu. Mereka mengimani rububiyah Allah. Allah berfirman tentang mereka yang artinya: “Katakanlah kepada mereka (wahai Muhammad): ‘Siapakah yang memberi kalian rizki dari langit dan bumi, siapakah yang menguasai pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarakan yang hidup dari yang mati, dan siapakah yang mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?’ niscaya mereka akan mengatakan: ‘Allah.’ Maka katakanlah kepada mereka: ‘Mengapa kalian tidak bertakwa?” (QS. Yunus: 31)
Akan tetapi, mereka tetap berbuat syirik, beribadah kepada berhala, Allah berfirman yang artinya: “Tidaklah kami beribadah kepada mereka (berhala), kecuali agar mereka mendekatkan kami kepada Allah.” (QS. Az-Zumar: 3)
Mereka juga meminta syafa’at kepada wali yang telah meninggal di antara mereka, Allah berfirman yang artinya: “Mereka (orang musyrik Quraisy) mengatakan: ‘Mereka (berhala) itu adalah pemberi syafa’at kami di sisi Allah.” (QS. Yunus: 18)
Dengan keadaan mereka yang demikian, Allah menghukumi mereka sebagai orang kafir, bukan muslim.
Semoga Allah memberi kita hidayah dan memasukkan kita ke dalam golongan hamba-hamba-Nya yang beriman dan memurnikan ibadah hanya kepada Allah. Aamiin.
(Ahmad)
Share,
 
"Janganlah kalian menuntut ilmu untuk membanggakannya terhadap para ulama dan untuk diperdebatkan di kalangan orang-orang bodoh dan buruk perangainya. Jangan pula menuntut ilmu untuk penampilan dalam majelis (pertemuan atau rapat) dan untuk menarik perhatian orang-orang kepadamu. Barangsiapa seperti itu maka baginya neraka ... neraka.[ HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah ]"