Bolehkah Mencaci-Maki " Waktu "..?

Kaum muslimin – semoga Allah Ta’ala merahmati kita semua – , mungkin kita sering mendengar perkataan sesorang, “Hari ini adalah hari sialku,” dan sejenisnya. Nah, pada pembahasan kali ini, kita akan mengupas hal yang berkaitan dengan larangan mencaci maki masa atau waktu. Hal tersebut dikarenakan banyak kaum muslimin yang kurang memperhatikan hal ini.Mereka secara tidak sadar bisa saja terjatuh pada kesalahan yang tidak bisa dianggap ringan di dalam Islam. Bagaimana sejatinya agama kita yang mulia ini, yaitu Islam, mengajari umat manusia dalam bermu’amalah sesama makhluk Allah ‘Azza wa Jalla dengan adab yang benar dan adil? Kalau adab di kamar mandi saja diatur dan dijelaskan dengan sangat gamblang dan jelas di dalam Islam, maka bagaimana dengan hal yang lebih besar dan urgen dari hal tersebut, yaitu masalah yang berkaitan dengan masa? Bolehkah seseorang menyandarkan keburukan atau malapetaka kepada masa atau waktu?


Keagungan Masa

Sebelum membahas tentang larangan mencaci maki masa, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu tentang keagungan masa atau waktu. Karena sangat dimungkinkan, seorang mencaci maki sesuatu disebabkan ketidaktahuan dia akan keagungan atau keistimewaannya. Adapun di antara keagungan masa sebagai berikut :
  • Di dalam beberapa surat di al-Qur-an, Allah Ta’ala bersumpah menggunakan beberapa nama-nama masa, misalnya di dalam surat al-Ashr, adh-Dhuhaa, al-Lail, dan al-Fajr. Hal ini menunjukkan bahwasannya nama-nama tersebut memiliki keutamaan di sisi Sang Maha Pencipta, dan juga seyogyanya bagi kita (kaum muslimin) memiliki perhatian yang sangat kepada masa yang senantiasa berputar mengantarkan kita kepada kematian.
  • Waktu merupakan nikmat yang agung dari Allah ‘Azza wa Jalla, sebagaimana di dalam hadis Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, “Dua nikmat yang kebanyakan manusia tertipu dengannya, yaitu nikmat sehat dan nikmat waktu luang.” (HR. Bukhari)
Keterangan di atas menunjukan bahwa masa atau zaman adalah makhluk yang mulia dan tidak sepantasnya bagi manusia mencaci makinya.

Larangan Mencaci-Maki Masa

Yang dimaksud dengan masa di sini adalah waktu yang meliputi malam, pagi, siang, sore, hari, pekan, bulan, tahun, dan yang sejenisnya. Waktu terus berjalan sesuai dengan kehendak Rabb yang telah menciptakannya dan mengaturnya. Maka barangsiapa yang mencaci maki masa, pada hakekatnya dia telah mencaci maki Dzat yang telah menciptakannya dan mengaturnya. Di antara contoh perbuatan mencaci maki masa adalah perkataan seseorang bahwa hari sabtu adalah hari sial baginya, sehingga dia meninggalkan pekerjaan atau perdagangannya pada hari tersebut karena takut rugi atau tertimpa bencana yang lain. Keyakinan seperti ini dilarang dalam syariat dan perkataannya termasuk mencaci maki masa.

Adapun dalil yang melarang perbuatan ini di antaranya adalah hadis Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, yang mana dahulu orang-orang jahiliyah mencaci maki masa, mereka mengatakan: “Sesungguhnya yang telah membinasakan kita adalah malam dan siang. Waktulah yang telah membinasakan kita, mematikan dan menghidupkan kita.” Kemudian, Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan mereka berkata, ‘Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa.” (QS. Al-Jatsiyah: 24) Kemudian Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: ‘Manusia mengganggu Aku. Ia mencaci maki masa, padahal Aku adalah (pemilik dan pengatur) masa. Aku-lah yang mengatur silih bergantinya malam dan siang.” (HR. Bukhari Muslim) Disebutkan dalam riwayat yang lain, “Janganlah kamu mencaci maki masa, karena sesungguhnya Allah adalah (pemilik dan pengatur) masa.” (HR. Muslim)

Walaupun demikian, celaan mereka kepada masa atau waktu atau kepada makhluk Allah Ta’ala yang lain tidak akan memudharati (membahayakan) Allah Ta’ala sedikitpun. Hal ini, sebagaimana dalam firman-Nya yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang menukar keimanan dengan kekafiran, sekali-kali mereka tidak akan dapat memberi mudhorat kepada Allah sedikitpun dan bagi mereka adzab yang pedih.”(QS. Ali-Imran: 177) Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda, “Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya kalian tidak dapat mendatangkan bahaya bagi-Ku sehingga tidak sedikitpun kalian dapat membahayakan-Ku.” (HR. Muslim)

Hukum yang Terkait dengan Masa

Setelah kita mengetahui tentang larangan mencaci maki masa dari al-Qur-an dan as-Sunnah, berikut ini adalah hukum bagi orang-orang yang menyandarkan kejelekan dan musibah kepada masa atau waktu. Ada beberapa keadaan dalam masalah ini :
  1. Mereka yang bermaksud untuk pemberitahuan atau pemberitaan saja, tanpa ada tujuan untuk mencaci maki masa. Contohnya adalah perkataan: “Kami merasa sangat capek hari ini karena matahari sangat terik.” Perkataan seperti ini tidak mengapa. Hal tersebut sebagaimana firman Allah Ta’ala tentang perkataan Nabi Luth ‘alaihis salam yang artinya, “Dan ketika datang utusan-utusan Kami (para malaikat) itu kepada Luth, dia merasa susah dan merasa sempit dadanya karena kedatangan mereka dan dia berkata, ‘Ini adalah hari yang amat sulit.’” (QS. Hud: 77)
  2. Orang-orang yang mencaci maki masa atau waktu, bersamaan dengan hal itu mereka masih berkeyakinan bahwa hanya Allah Ta’ala yang mentakdirkannya. Contohnya adalah perkataan: “Zaman sekarang adalah zaman edan.” Hukum perkataan seperti ini haram. Pada hakikatnnya perkataan itu merupakan celaan bagi Allah Ta’ala.
  3. Mereka mencaci maki masa dan berkeyakinan bahwa masa atau waktu itulah yang menyebabkan musibah atau bencana. Sebagai contoh orang yang berkata: “Musibah ini terjadi karena hari ini hari Jum’at.” Perkataan mereka dengan keyakinan bahwa hari Jum’atlah yang menjadi sebab terjadinya musibah, hukumnya haram dan pelakunya telah terjerumus ke dalam syirik besar (mengeluarkannya dari agama Islam) karena dia telah menyekutukan Allah Ta’ala dengan hari Jum’at.
Mutiara Faidah
  • Kita dilarang mencaci-maki masa atau waktu karena hal tersebut juga berarti mencaci-maki penciptanya, yaitu Allah Ta’ala.
  • Masa atau waktu termasuk salah satu dari makhluk Allah ‘Azza wa Jalla yang sangat agung kedudukannya di sisi-Nya. Buktinya adalah Allah Ta’ala bersumpah dengan nama-nama waktu di beberapa surat dalam al-Qur-an.
  • Masa atau waktu adalah nikmat yang sangat agung bagi manusia.
Demikian sedikit yang dapat kami tuliskan dalam edisi kali ini, semoga bermanfaat bagi kita semua di dunia dan akhirat. Amiin.
[Fajar Abu Tholhah]
Lanjut Baca Yuk.!!
Share,

Hati-Hati dengan Harta

Harta merupakan salah satu nikmat Allah Ta’ala yang dikaruniakan kepada umat manusia. Keindahannya demikian mempesona. Pernak-perniknya pun teramat menggoda. Ini mengingatkan kita akan firman Allah Ta’ala yang artinya: “ Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada segala apa yang diingini (syahwat), yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (al-Jannah).” (Ali ‘Imran: 14)

Ketertarikan Hati Manusia Terhadap Harta
 
Manusia merupakan makhluk Allah Ta’ala yang berjati diri amat dzalim (zhalum) dan amat bodoh (jahul). Demikianlah Allah Ta’ala, Rabb semesta alam, mensifati mereka, sebagaimana dalam firman-Nya yang artinya:  “Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh.” (Al-Ahzab: 72)

Jika demikian kondisinya, maka tak mengherankan bila (kebanyakan) manusia teramat berambisi mengumpulkan dan menumpuknya. Sungguh benar, apa yang disabdakan dan diperingatkan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam:  “Kalaulah anak Adam (manusia) telah memiliki dua lembah dari harta, niscaya masih berambisi untuk mendapatkan yang ketiga. Padahal (ketika ia berada di liang kubur) tidak lain yang memenuhi perutnya adalah tanah, dan Allah Maha Mengampuni orang-orang yang bertaubat.” (HR. Al-Bukhari)
Dapat Melalaikan dari Dzikrullah
 
Para pembaca yang mulia, ketika hati anak manusia amat cinta kepada harta bahkan berambisi untuk mengumpulkan dan menumpuknya, maka sudah barang tentu harta tersebut dapat melalaikannya dari ketaatan kepada Allah Ta’ala (dzikrullah). Allah Ta’ala yang Maha Mengetahui keadaan para hamba-Nya telah memberitakan hal ini, sebagaimana dalam firman-Nya yang artinya: “Telah melalaikan kalian perbuatan berbanyak-banyakan. Hingga kalian masuk ke liang kubur.” (At-Takatsur:  1-2)
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu berkata: “Telah melalaikan kalian (dari ketaatan) perbuatan berbanyak-banyakan dalam hal harta dan anak.” (Tafsir Ibnu Katsir)

Dapat Menjadikan Seseorang Sombong
 
Kisah berikutnya adalah tentang para pembesar Bani Israil yang memprotes Nabi mereka atas diangkatnya Thalut sebagai raja mereka. Allah Ta’ala berfirman yang artinya: “Nabi mereka mengatakan kepada mereka: ‘Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi raja kalian.’ Mereka menjawab: ‘Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedangkan dia pun bukan orang yang kaya?’ (Nabi mereka) berkata: ‘Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi raja kalian dan menganugerahinya ilmu yang luas serta tubuh yang perkasa.’ Allah memberikan kekuasaan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas Pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah: 247)

Para pembaca, demikianlah beberapa fenomena mengerikan tentang harta dan perannya yang amat besar dalam mengantarkan anak manusia kepada kesombongan. Akibatnya, kebenaran dengan ‘enteng’ ditolaknya dan orang-orang mulia pun direndahkannya.

Hanya Titipan
 
Maka dari itu, tidaklah pantas bagi seorang muslim yang diberi karunia harta oleh Allah Ta’ala lalai dari dzikrullah dan berbangga diri (sombong) dengan hartanya. Bukankah harta itu merupakan titipan Allah Ta’ala yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hari kiamat? Allah Ta’ala berfirman yang artinya: “Kemudian kalian pasti akan ditanya pada hari itu (hari kiamat) tentang kenikmatan (yang kamu bermegah-megahan dengannya).” (At-Takatsur:  8)
[Wahyu Budiman]

Lanjut Baca Yuk.!!
Share,

Seorang Anak Dalam Bingkai Akhlak Islami

Kehadiran seorang anak merupakan karunia yang sangat dirindukan setiap orang, apalagi seorang muslim dan itu merupakan perkara yang manusiawi. Allah berfirman yang artinya:“Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia, cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan dan  anak-anak.…” (QS. Ali Imran: 14)

Walaupun demikian, dalam pandangan Islam seorang anak bukan hanya sebatas nikmat, tapi juga sebuah amanat. Akan menjadi anugerah ketika kita bisa membina serta mendidiknya menjadi seorang anak yang berakhlak karimah, berjiwa mulia, dan memiliki pendirian agama yang hanif. Atau sebaliknya, menjadi sebuah musibah tatkala kita gagal mencetak dan mengarahkannya ke jalan yang benar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Setiap bayi terlahir di atas fitrah (Islam), maka kedua orang tuanyalah yang akan menjadikannya seorang Yahudi, Nashrani, atau Majusi.” [HR. Bukhari dan Muslim]


Dan agama Islam lebih cenderung untuk membentuk akhlak seorang anak terlebih dahulu daripada membekalinya dengan ilmu yang lain. Hal tersebut lebih selaras dan sejalan dengan perkembangan cara berfikir (rasionalistik) dan kejiwaan (psikis) seorang anak. Walaupun hal ini bukan perkara yang mutlak.

Bagaimana cara menasihati anak?
  1. Hendaknya orang tua berlemah lembut dan penuh kasih sayang dalam menasihati anak. Demikian juga ini berlaku bagi siapa saja yang berkarir dalam dunia pendidikan anak.
  2. Menasihati anak dengan berbicara empat mata tanpa mengumumkanya secara terang-terangan di hadapan teman-temanya.
Apa saja yang harus dinasihatkan kepada anak?
  1. Mengajarkan agar menjaga kesehatan jasmani, berpenampilan rapi, dan membersihkan diri dari najis.
  2. Membuang sampah pada tempatnya.
  3. Memperingatkan agar tidak memotong pembicaraan orang lain atau meninggikan suaranya, serta membiasakan mengucap salam kepada orang lain.
  4. Memerintahkan agar menutup wajah ketika bersin dan menutup mulut ketika menguap.
  5. Mengajarkannya untuk menghormati semua orang muslim, terlebih kepada tetangganya, memuliakan tamu dan melayaninya dengan baik.
  6. Mengharuskan mereka untuk meminta izin tatkala hendak bepergian atau ketika ada hajat yang lain.
  7. Mengajarinya adab dan sopan santun serta tatacara dalam acara makan bersama, baik dalam lingkup keluarga maupun masyarakat umum.
  8. Memperingatkan mereka agar menghindari hal-hal yang kurang bermanfaat bagi mereka, seperti: menonton TV, main game, mendengarkan musik, maupun hal – hal yang bisa jadi hal tersebut membahayakan perkembangan psikis mereka.
  9. Kemudian mengajari tatacara ibadah shalat serta memerintahkanya  ketika anak sudah menginjak usia tujuh tahun. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Perintahlah anak – anak kalian untuk shalat ketika mencapai umur tujuh tahun. Dan pukullah mereka (jika mereka enggan shalat) pada umur sepuluh tahun dan pisahkanlah ranjang mereka.” [HR. Abu Dawud]
Demikianlah beberapa hal yang perlu kita perhatikan dalam membina akhlak seseorang anak. Semoga Allah memberkahi apa yang telah kami sampaikan. Wallahu a’lam bish showab.
-       Disadur dari berbagai sumber.
[ Abu Sutan Faihal Abdul Basit Al Palembangi ]
Lanjut Baca Yuk.!!
Share,
 
"Janganlah kalian menuntut ilmu untuk membanggakannya terhadap para ulama dan untuk diperdebatkan di kalangan orang-orang bodoh dan buruk perangainya. Jangan pula menuntut ilmu untuk penampilan dalam majelis (pertemuan atau rapat) dan untuk menarik perhatian orang-orang kepadamu. Barangsiapa seperti itu maka baginya neraka ... neraka.[ HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah ]"